Contact Me

Feel free to discuss @ivan_arista


Friday 1 May 2009

www.stopmerokok.com

www.stopmerokok.com


”Saya ingin berhenti merokok, namun tidak bisa”. ”Itu namanya kecanduan nikotin. Saya dulu juga begitu, tetapi sekarang sudah bisa, klik saja www.stopmerokok.com”. Pernahkah anda melihat iklan tersebut di televisi? Itu adalah cuplikannya. Cukup menarik, ternyata upaya membuat seorang perokok untuk berhenti merokok telah ditangkap sebagai peluang bisnis yang sedemikian besar oleh perusahaan obat Pfizer.

Mengapa sampai ada bisnis untuk menghentikan perokok-perokok dari kebiasaannya? Setidaknya, saya yakin bahwa ide ini digagaskan oleh orang yang memahami bahaya merokok bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Jika tidak maka penggagas ide ini adalah orang yang tidak suka melihat orang lain merokok. Saya tidak ingin membahas bahaya atau dampak merokok dari segi ilmiah. Sesuai dengan tema tulisan-tulisan yang saya buat yang berjudul life story, maka saya lebih suka melihat bagaimana tanggapan kita terhadap perokok dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pernahkah anda mengkonsumsi makanan yang kadaluarsa? Sebut saja mie instant atau roti yang tanggal kadaluarsanya telah terlewat beberapa minggu atau mungkin beberapa hari saja. Saya sangat yakin bahwa anda tidak akan mengkonsumsinya. Padahal, apa dampak yang anda dapatkan dari mengkonsumsi makanan yang kadaluarsa tersebut? Tidak dituliskan apa efeknya, namun dampak paling parah adalah sakit perut, muntaber, dan penyakit pencernaan lainnya yang relatif mudah disembuhkan.

Bagaimana dengan perokok? Jelas-jelas sudah dituliskan bahwa merokok dapat menyebabkan serangan jantung, gangguan kehamilan, janin, dan impotensi. Bukankah dampak ini jauh lebih berat daripada dampak yang dihasilkan dari mengkonsumsi makanan yang kadaluarsa? Saya yakin perokok-perokok tidak mau mengkonsumsi makanan yang kadaluarsa, namun mereka justru mau mengkonsumsi rokok yang dampaknya telah dengan jelas dinyatakan lebih berbahaya. Dengan demikian, saya menyimpulkan sebagai poin pertama bahwa perokok itu bodoh.

Sebagai pembahasan yang kedua, saya menganggap perokok sebagai seseorang yang egois. Bagaimana bisa? Bayangkan apabila seseorang merokok, apa yang dihasilkan? Abu dan asap. Abu dan asap ini tidak ikut dikonsumsi oleh perokok, namun justru dibagi-bagikan kepada orang lain. Menurut pemahaman yang selama ini beredar di kalangan terpelajar, perokok pasif memiliki dampak kesehatan yang lebih buruk dibandingkan perokok itu sendiri karena perokok pasif mengkonsumsi zat-zat buangan yang merupakan residu yang lebih berbahaya daripada rokok itu sendiri. Bagaimana dapat dikatakan adil jika seorang perokok hanya menghisap bagian yang enak dan memberikan hal yang tidak enak kepada orang lain? Bukankah dia egois? Dia akan menjadi tidak egois apabila dia merokok di ruang tertutup dan asap yang dia hasilkan juga dikonsumsinya sendiri. Dengan demikian adil sudah, si perokok bertanggungjawab atas asap yang dihasilkannya sendiri. Atau ada juga alternatif lain yaitu pikirkan cara bagaimana merokok tanpa menghasilkan asap.

Seringkali saya heran, mengapa pengkonsumsi narkotika atau minuman keras bisa ditangkap polisi namun perokok tidak? Menurut saya, pengkonsumsi narkotika apalagi minuman keras hanya merusak diri mereka sendiri tanpa mengganggu orang lain. Dari minuman yang mereka minum, mereka yang merasakan nikmatnya, namun mereka sendiri juga yang merasakan dampaknya. Demikian pula dengan narkotika, mereka sendiri yang mengkonsumsi, mereka sendiri yang merasakan nikmat sesaat, dan mereka sendiri yang bertanggungjawab. Hal ini masih lebih dapat ditoleransi dibandingkan perokok yang mencelakakan orang lain, bukan? Oleh sebab itu, saya senang sekali apabila boleh berkata bahwa perokok lebih parah dibandingkan dengan pecandu narkotika apalagi ”hanya” pecandu minuman keras.

Yang terakhir, perokok jelas boros. Sama halnya dengan membakar kertas dan tembakau, apa yang mereka dapatkan? Tidak ada dampak positif apapun yang mereka dapatkan. Bukankah hal ini sama dengan membakar uang kertas? Perokok menghabiskan uang untuk membeli sesuatu yang habis mereka bakar, untuk apa? Apabila ingin mengkonsumsi zat berbahaya, tidak perlu membayar, cukup menghirup asap kendaraan bermotor di jalan raya, sama saja bukan? Hal ini malah gratis!

Berdasarkan sebuah berita di televisi, masih banyak penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$2 per hari. Namun kondisi ini seakan-akan terbalik melihat jumlah perokok di Indonesia yang sangat banyak. Dalam berita itu juga dijelaskan berdasarkan survey yang mereka buat, kepala keluarga miskin yang perokok lebih mementingkan membeli rokok dibandingkan membeli makanan untuk keluarga mereka. Harga rokok yang tidak murah mereka mampu beli. Benar-benar miskinkah mereka? Saya rasa tidak. Sayang sekali saya lupa kapan berita ini ditayangkan, namun saya berharap cerita tersebut cukup menggambarkan kondisi yang ada saat ini.

Kesimpulannya, perokok adalah seseorang yang bodoh, egois, dan boros! Hal ini berlaku baik bagi mereka yang merokok sekali-kali hingga pecandu berat, dari yang merokok di tempat umum maupun di rumah, dan dalam kondisi apapun. Jadi, tidak ada jalan lain, berhentilah merokok!

Sebarkanlah artikel ini kepada teman-teman anda yang merupakan perokok, dengan harapan dia dapat mengurangi atau bahkan berhenti merokok. Hal ini bisa menjadi bentuk kepedulian anda terhadap teman dan saudara anda. Tidak perlu kuatir, saya bersedia bertanggungjawab atas artikel yang saya buat.

Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri, pengecut. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.


Ivan Arista S.
Student of MBA Program, NTUST - Taipei

Tuesday 10 March 2009

SATU INDIVIDU, TIGA PRIBADI

SATU INDIVIDU, TIGA PRIBADI

Setiap orang yang hidup di dunia ini, jika ditinjau dari hubungan mereka dengan pihak lain, akan mempunyai tiga pribadi. Tiga pribadi yang saya maksudkan di sini adalah tiga pribadi yang tetap terkait pada satu kesatuan individu yang sama, namun pada peran yang berbeda. Ketiga pribadi tersebut adalah pribadi spiritual, pribadi personal, dan pribadi individual. Pada pembahasan kali ini, marilah kita mengesampingkan pribadi spiritual masing-masing individu karena hal ini merupakan hubungan kita dengan Sang Pencipta kita, yang mana tidak ada seorangpun dari kita yang berhak untuk mengkritisi keyakinan individu lainnya dalam hal spiritual.

Peran yang kedua adalah peran kita secara personal. Pribadi personal kita tercermin melalui kehidupan keseharian kita, kehidupan personal di keluarga, seperti hubungan ayah-anak, mertua-menantu, nenek-cucu, paman-keponakan, pacar, tunangan, dan lain sebagainya. Kehidupan kita sebagai pribadi yang kedua sebagian besar menjadi pengaruh dalam dasar pengambilan keputusan kita karena lingkungan ini merupakan sebagian besar tempat kita menghabiskan waktu dan juga tempat kita bertumbuh dan membentuk dasar pemikiran kita.

Tidak hanya itu, setiap orang sebagai makhluk sosial juga memiliki peran ketiga sebagai pribadi sosial. Pribadi sosial dalam hal ini adalah relasi kita dengan orang lain yang tak terbatas jumlahnya. Hal ini mulai terjalin ketika kita keluar dari keluarga, mulai bersekolah, bertemu teman-teman, mulai bekerja, bertemu rekan-rekan sekerja, mulai berorganisasi, bertemu anggota-anggota organisasi, berbisnis, bertemu rekan-rekan bisnis, dan lain sebagainya. Pada dasarnya hal ini akan terjadi di fase lebih lanjut kehidupan kita, pada umumnya setelah kehidupan pribadi kita terbentuk.

Lantas, apa masalahnya? Tidak menjadi masalah apabila kita sebagai satu individu tidak mempunyai konflik antar aspek kehidupan kita, namun hal ini akan menjadi menarik apabila ada dua atau bahkan lebih aspek di dalam kehidupan kita yang saling bertentangan. Mana yang harus kita utamakan? Tentunya kita tidak akan mengesampingkan faktor yang lain karena pada dasarnya hal itu masih berhubungan dengan satu pribadi yang sama, namun apabila harus mengorbankan salah satunya? Menarik untuk dibahas.

Sebelumnya karena tulisan ini adalah untuk konsumsi publik, maka saya berkewajiban untuk menyimpan identitas pihak-pihak yang terkait, namun pembahasan jalur pribadi sangatlah dimungkinkan.

Kisah nyata terjadi di tempat di mana saya bekerja beberapa tahun belakangan ini. Di dalam ruang lingkup sebuah organisasi berskala menengah, sebut saja ada dua orang A dan B yang pada dasarnya merupakan rekan sekerja dengan saya. Tidak lama kemudian, A dan B memutuskan untuk meningkatkan hubungan mereka dari hubungan pertemanan, dan singkat kata, mereka berpacaran. Setelah mereka berpacaran, semua anggota organisasi tidak merasa ada masalah karena mereka tidak berubah sikap dan tetap menjaga hubungan baik kepada anggota-anggota organisasi yang lain, termasuk saya sebagai salah satunya.

Beberapa bulan berselang, salah satu dari A dan B, sebut saja si A memutuskan untuk mengundurkan diri dari organisasi ini untuk masuk ke organisasi yang lain, sebut saja organisasi Y, sedangkan si B tetap tergabung sebagai anggota dari organisasi lama tempat saya bekerja, sebut saja organisasi X. Si A dan Si B secara pribadi merupakan dua individu yang harus saling terbuka dan saling membantu, sedangkan secara sosial mereka harus saling tertutup dan bahkan berkompetisi, apabila ternyata organisasi X dan Y ternyata berbeda paham atau bahkan bersaing.

Sebut saja ketika si A ingin mengetahui perkembangan organisasi X yang sempat diikutinya, dia bertanya kepada B. Pada dasarnya A tidak berhak untuk tahu lebih banyak perkembangan organisasi X karena A sudah tidak merupakan anggota dari organisasi X dan B pasti mengetahuinya karena B adalah anggota dari organisasi X. Apakah yang harus dilakukan oleh B? Apabila B mengutamakan aspek pribadinya sebagai pacar, dia akan memberitahukan perkembangan organisasi X kepada A dan dengan demikian dia mengesampingkan perannya sebagai anggota organisasi X, sedangkan apabila B mengutamakan aspek sosialnya sebagai anggota organisasi X, dia tidak akan memberitahukan perkembangan organisasi X kepada A dan dengan demikian dia mengesampingkan aspek personal sebagai pacar yang harus saling terbuka.
Berhenti sampai di sini, apabila anda menjadi B yang menerima pertanyaan dari A, apa yang akan anda lakukan?

Menurut pendapat pribadi saya, tidak seharusnya seorang individu mengutamakan salah satu aspek kehidupannya dan mengesampingkan aspek yang lain. Semuanya harus berjalan dengan seimbang. Ketika A mengajukan pertanyaan ke B, maka pada dasarnya A telah merugikan si B karena jelas-jelas pertanyaan itu akan menyulitkan si B dan membuat si B harus mengorbankan salah satu aspek kehidupannya. Mengapa si A melakukan sesuatu yang merugikan si B padahal mereka adalah pacar yang harus saling menolong?

Sebaliknya, apabila si A ternyata masih bersikukuh untuk mengajukan pertanyaan tersebut kepada si B meskipun pertanyaan itu jelas-jelas merugikan si B, apa yang harus dilakukan oleh si B? Semuanya kembali kepada prinsip si B sebagai seorang individu, apakah dia adalah seorang yang dapat dipercaya di segala aspek kehidupannya, atau hanya dapat dipercaya di salah satu aspek kehidupannya? Banyak cara untuk tidak mengorbankan salah satu aspek di kehidupan kita, tergantung kreativitas kita.

Para pembaca sekalian, apabila anda menghadapi kondisi yang serupa, apabila anda berperan sebagai A, janganlah mempersulit si B. Apabila anda menjadi si B, jadilah orang yang berprinsip teguh, tidak mengorbankan pihak manapun, namun tentunya akan lebih baik lagi apabila kita tidak menghadapi kondisi serupa, juga tidak mendapatkan konflik antar aspek di kehidupan kita sebagai individu yang majemuk. Semoga saja...

Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.

Ivan Arista S.
Student of MBA Program, NTUST - Taipei
Email : ivan_arista@yahoo.com
MSN : ivan_arista@hotmail.com
www.friendster.com/ivanarista
http://www.ivanarista.blogspot.com/
Mobile : +886 915 410 744

Saturday 7 March 2009

PENDETA SEKALIGUS PENCURI, MUNGKINKAH ?

PENDETA SEKALIGUS PENCURI, MUNGKINKAH ?

Sekali lagi dari pernyataan tersebut di atas, jangan pernah memikirkan suatu masalah dari segi rasional. Terkadang intuisi anda harus juga dijalankan! Secara logika hal tersebut memang tidak mungkin mengingat dua hal tersebut adalah dua hal yang mempunyai sifat yang bertentangan, namun apabia kita mau melihat pada kenyataan, maka hal tersebut adalah hal yang sangat mungkin atau bahkan sering terjadi di kehidupan nyata. Dengan demikian masihkah kita selalu berpegang teguh pada logika dan prinsip kebenaran yang ada pada otak kita? Buang jauh-jauh semua itu!

Ya, kehidupan manusia tidak akan bisa dilepaskan dari seluruh aspek yang melekat di dalam kehidupannya. Seorang ayah bagi anak, seorang suami bagi istri, seorang direktur bagi karyawan, seorang anak bagi orang tua, seorang upline bagi downline, seorang rekan bisnis bagi pemegang saham perusahaan lainnya, semua aspek tersebut bisa muncul dalam diri satu orang yang sama, namun layakkah hal tersebut memunculkan hal-hal yang bertentangan?
Seringkali masyarakat awam membeda-bedakan, mana yang harus dihukum lebih berat antara guru agama yang memperkosa siswanya dibanding dengan orang biasa yang memperkosa orang lain? Mana yang harus dihukum lebih berat antara polisi yang kedapatan mencuri dibanding dengan warga biasa yang kedapatan mencuri? Mana yang imagenya lebih buruk, dokter yang merokok atau tukang becak yang merokok? Saya terkadang bingung apakah benar yang satu lebih bersalah dibandingkan yang lain atau memang saya yang benar, keduanya sama-sama salah? Kita diciptakan sederajat, sama-sama manusia satu pencipta. Perbedaan-perbedaan itu hanya ada pada pandangan masyarakat umum terhadap kita. Kita tidak akan pernah bisa merubah pola pikir mayoritas karena hal tersebut memang merupakan hak asasi dan kebebasan masing-masing individu, namun apakah kita tetap akan membeda-bedakan mana yang lebih benar dan mana yang lebih bersalah?

Orang-orang yang tidak mau ambil pusing akan berkata, ”Ah, buat apa gitu saja diperdebatkan? Kurang kerjaan ya? Paling baik ya jangan berbuat salah!”. Namun mungkinkan kita benar-benar sempurna tanpa melakukan kesalahan? Tidak mungkin! Kita adalah manusia yang berdosa di mata Tuhan. Hal yang bisa kita lakukan adalah hanya dengan berusaha untuk menekan kesalahan-kesalahan tersebut seminimal mungkin dan juga dengan menghindari pertentangan dari aspek-aspek yang ada di dalam kehidupan kita seminimal mungkin karena meskipun sama-sama bersalah, dokter yang merokok akan dipandang jauh lebih bersalah daripada tukang becak yang merokok. Benar, bukan?

Implementasi

Himpunan Mahasiswa Teknik Industri Universitas Kristen Petra adalah satu-satunya lembaga kemahasiswaan yang ada di dalam Jurusan Teknik Industri Universitas Kristen Petra. Lembaga ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu menjadi penyambung antar mahasiswa dan penyambung mahasiswa dengan jurusan. Sebagai visi dan tujuan dibentuknya lembaga tersebut, maka setiap anggota yang terlibat di dalamnya tentunya akan menjalankan visi tersebut, terlebih bagi para fungsionaris yang telah bersedia untuk mengambil porsi lebih dengan terlibat aktif di kepengurusan HIMATITRA. Namun kenyataannya?

Banyak fungsionaris yang lebih malas dibandingkan dengan mahasiswa biasa, mereka sering menunda-nunda waktu, lebih parah daripada mahasiswa biasa. Sepengetahuan saya selama berkesempatan menjadi fungsionaris selama dua periode, mengulur-ulur waktu yang dilakukan oleh para fungsionaris jauh lebih parah dibandingkan mahasiswa biasa yang mengulur-ulur waktu. Sebuah proposal bisa molor sampai berminggu-minggu, berbulan-bulan, sampai setahun hingga pada akhir periode dampaknya melanda sebagian fungsionaris yang tidak menjalankan program. Apakah ini tidak lebih parah dibandingkan dengan mahasiswa biasa yang menunda pengumpulan tugas ”hanya” tidak sampai seminggu?

Ada lagi fenomena lain... Beberapa (Yang jelas lebih dari satu) fungsionaris yang terlibat di dalam grup-grup, geng-geng, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas, entah apapun namanya. Salahkah mereka? Tidak! Itu adalah hak masing-masing individu untuk mau berinteraksi dengan si-A dan tidak suka berinteraksi dengan si-B. Namun apabila yang melakukannya adalah fungsionaris Himatitra yang bertujuan untuk mengakrabkan mahasiswa antar individu, antar angkatan, dan antar golongan, bagaimana pendapat mahasiswa biasa? Dua hal yang bertentangan muncul di dalam aspek yang ada di dalam diri fungsionaris.

Mau contoh lain? Perhatikan ucapan ini, ”Saya sudah bukan fungsionaris lagi, masa jabatan saya sudah habis. Saya merasa sudah memberikan apa yang saya mampu selama saya menjabat”. Kalau boleh saya sadur ulang, samakah kalimat tersebut dengan: ”Selama saya jadi fungsionaris, saya harus menjalin hubungan baik dengan siapapun, namun setelah periode kepengurusan saya sudah habis, bebas dong saya mau melakukan apa?”. Jika dianalogikan dengan lebih ekstrim, ”Seorang pendeta di gereja tidak boleh berbicara kotor namun setelah tidak berperan sebagai pendeta, hal itu boleh-boleh saja.”

Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri, pengecut. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.

Ivan Arista S.
Graduate Student, School of Management, MBA Program
National Taiwan University of Science and Technology
Keelung Rd., Sec. 4, # 43, Taipei 106, Taiwan, R.O.C.
Email : ivan_arista@yahoo.com
MSN : ivan_arista@hotmail.com
www.friendster.com/ivanarista
www.ivanarista.blogspot.com
Mobile : +886 915 410 744

Thursday 19 February 2009

KUE MANA YANG ANDA PILIH, YANG RASANYA ENAK ATAU YANG BUNGKUSNYA MENARIK?

Kue mana yang anda pilih, yang rasanya enak atau yang bungkusnya menarik?

Pertanyaan yang konyol jika dibilang konyol, namun pertanyaan yang bermakna jika dianggap bermakna. Apapun jawaban anda, kali ini saya tidak akan mempermasalahkannya karena saya hanya ingin mengangkatnya sebagai sebuah pengantar untuk membawa kita ke beberapa contoh nyata yang terjadi di kehidupan kita, yang tanpa kita sadari juga memberikan pertentangan dalam perilaku kita.

Beberapa tahun yang lalu, terjadi peristiwa kurang menyenangkan di Jurusan Teknik Industri Universitas Kristen Petra. Akreditasi A yang berhasil dicapai oleh jurusan ini dan menjadi kebanggaan selama bertahun-tahun akhirnya gagal dipertahankan dan kita harus puas dengan hasil akreditasi B. Terlepas dari segala upaya untuk mengembalikan akreditasi jurusan kembali ke nilai A, saya merasa tertarik dengan salah satu penyebab gagalnya nilai akreditasi tersebut dipertahankan, yaitu karena ada tim penilai akreditasi yang menemukan adanya mahasiswa lulusan Jurusan Teknik Industri Universitas Kristen Petra yang tidak mampu membuat OPC dengan benar. Kesimpulan ini diperoleh karena adanya laporan Tugas Akhir yang berisikan OPC dengan format yang salah. Yang menjadi pertanyaan besar buat saya adalah, ”Apakah memang format setiap laporan mempengaruhi kriteria penilaian?”. Bukan urusan saya untuk bertanya maupun menjawab, namun menurut saya, memahami makna dan kegunaan dari OPC adalah jauh lebih penting dibandingkan dengan format tampilan yang dapat diperindah dengan mudah. Apabila pendapat saya salah, berarti tampilan memang jauh lebih penting dibandingkan dengan isi dan makna yang sebenarnya. Tidak perlu membuat sesuatu yang berbobot, asalkan sedap dipandang mata, maka segalanya akan menjadi baik.

Yah, semoga itu bukan yang terjadi. Mendengar kenyataan dari rapat asisten Perancangan Sistem Industri yang mana dosen koordinator lebih mementingkan format notulen rapat yang rapi dan benar dibandingkan dengan kualitas materi yang diperbincangkan dari rapat asisten itu sendiri dan beliau hanya melakukan koreksi pada notulen akhir rapat tanpa menghadiri jalannya rapat secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa memang tampilan luar jauh lebih penting daripada makna yang dikandung sebenarnya. Pada kegiatan rapat tersebut, saya merasa adalah hal yang penting untuk memahami alur rapat dan segala masalah yang timbul berkaitan dengan mahasiswa, namun kenyataannya... Mahasiswa sudah berusaha untuk itu, namun dosen tidak mengindahkannya.

Dari dua kenyataan di atas, masihkah kita berfokus pada kualitas hasil karya kita dan menomorduakan segi estetika tampilan segala sesuatu yang kita hasilkan? Sering kali konsep yang sudah dibangun sedemikian kuatnya terkalahkan dengan tampilan yang lebih indah. Contoh lain yang nyata terjadi di lingkungan Teknik Industri Universitas Kristen Petra adalah adanya beberapa mata kuliah yang lebih mementingkan abjad, tata cara penulisan, bahkan spelling, dibandingkan dengan inti makalah itu sendiri. Tahu darimana? Bagaimana tidak tahu, print yang cacat langsung dianggap sebagai suatu kesalahan namun kesalahan penyampaian maksud dari makalah belum tentu dapat ditemukan. Tidak dibaca, hanya dilihat? Saya juga tidak tahu.

Tidak hanya di kegiatan perkuliahan, di kegiatan kemahasiswaanpun terjadi hal yang serupa. Tanyakan kepada BPMF, apa yang mereka pentingkan? Isi proposal atau format proposal? Kegiatan yang telah direncanakan sedemikian rupa seringkali gagal dilaksanakan karena ketidakindahan proposal yang diajukan, salah ketik beberapa huruf, paragraf yang tidak masuk ke dalam, atau bahkan penulisan rencana anggaran dengan format yang tidak sesuai.

Melihat itu semua, masihkah kita berpendapat bahwa pokok permasalahan yang ingin disampaikan bersifat lebih penting daripada bagaimana cara penyampaian pendapat itu? Sebaliknya saya malah menganggap di dunia nyata, segala sesuatu yang dikemas indah dan menarik lebih menggugah hati daripada segala sesuatu yang mempunyai arti yang indah. Pola pikir ini tidak terbatas pada kalangan rendah saja, seperti orang-orang tidak berpendidikan yang menyukai makanan berwarna-warni yang mungkin berbahaya bagi kesehatan mereka, namun telah meracuni orang-orang berpendidikan dan berkedudukan, seperti contoh tim penilai akreditasi di atas maupun perusahaan-perusahaan peserta tender yang lebih memilih janji-janji yang indah pada saat presentasi dibandingkan dengan kualitas produk yang ditawarkan itu sendiri.

Focus on majors, not on minors. Yang mana yang disebut “Major” dan yang mana yang disebut “Minor”? Semuanya sudah terbolak-balik, apabila anda terus berpikir sesuai apa yang anda anggap benar, saya yakin anda akan segera dilanda kebingungan. Penampilan luar itu jauh lebih penting? Tidak mutlak benar, namun setidaknya itulah yang diajarkan kepada kita sebagai hal yang ”Major” dari peristiwa yang terjadi sehari-hari di sekitar kita, termasuk di dunia pendidikan. Bukankah makalah yang indah namun tidak bermutu lebih ”diperhitungkan” dibandingkan makalah yang bermutu namun tidak indah? Jika demikian, masihkah anda berpikiran bahwa ngawur itu salah? Asalkan bisa menyampaikannya dengan yakin dan membuat orang yang dingawuri percaya, tidak masalah, kan?

Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri, pengecut. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.

Ivan Arista
ivan_arista@yahoo.com
+628123100679

JAUH, DEKAT, SAMA SAJA

JAUH, DEKAT, SAMA SAJA
Saya terinspirasi sewaktu saya pergi ke Jakarta, di Pasar Pagi Mangga Dua. Suatu hari, dari tempat tinggal saya di Lippo Karawaci, saya hendak pergi ke Sunter. Saya tidak tahu di mana lokasinya, namun jarak terdekat dari tempat yang dapat dijangkau bis Lippo Karawaci adalah Pasar Pagi Mangga Dua. Setelah saya sampai di sana, Saya menanyakan kepada receptionist, ”Bagaimana cara dari sini pergi ke Sunter? Jauhkah?”. Petugas itu menjawab, ”Lumayan agak jauh mas, naik taksi saja lebih mudah.”. Sayapun akhirnya pergi ke Sunter dengan taksi. Tarif yang saya bayar waktu itu adalah Rp. 60.000,-.

Dua minggu kemudian, saudara saya datang dari Surabaya dan menginap di hotel Novotel Mangga Dua Square. Karena saya tidak tahu tempatnya, sekali lagi saya naik bis ke Pasar Pagi Mangga Dua, kemudian saya bertanya ke receptionist, kebetulan sedang dijaga oleh petugas yang sama seperti dua minggu sebelumnya, ”Mbak, hotel Novotel Mangga Dua Square itu di mana? Jauhkah?”. Petugas itu menjawab, ”Wah, jauh sekali mas, di ujung jalan ini, harus ganti dua kali”. Saya tidak mengerti apa maksud ganti dua kali, saya hanya mengiyakannya. Karena tetap tidak yakin, sayapun naik taksi. Ternyata, saya sampai ke tujuan hanya dengan membayar kurang dari Rp. 10.000,-. Dari sana saya baru mengerti bahwa dua kali yang dia maksud adalah dua kali naik mobil angkutan kota.

Apa yang saya peroleh dari pengalaman tersebut? Jarak setara tarif taksi Rp. 60.000,- dikatakan sebagai jarak yang ”lumayan agak jauh” sedangkan jarak setara tarif taksi Rp. 10.000,- dikatakan sebagai jarak yang ”jauh sekali”. Kedua pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang yang sama, yang seharusnya mempunyai nilai-nilai kehidupan yang sama, namun hasilnya sedemikian jauh berbeda. Saya menjadi bingung, kemudian saya berpikir, apakah melalui perkataan-perkataan yang sudah saya ucapkan, saya secara tidak langsung telah membawa kebingungan kepada orang lain sama seperti kebingungan yang diberikan oleh petugas receptionist ini kepada saya?

Berpikir lebih jauh, ada banyak kata sifat yang kita gunakan di dalam kehidupan kita sehari-hari, semuanya itu kembali kepada nilai-nilai yang kita miliki sebagai seorang individu. Seorang pengemis yang diberikan uang seratus ribu rupiah dapat menganggapnya sebagai jumlah yang sangat banyak sedangkan seorang direktur menganggap seratus ribu rupiah sebagai jumlah yang tidak ada artinya. Hal ini tentunya sangat membawa kerancuan bagi kita dalam memahami kondisi yang digambarkan oleh orang lain di dalam perkataannya.

Orang yang mendengarkan perkataan kita akan lebih mudah bingung apabila kita menggunakan terlalu banyak kata sifat di dalam percakapan. Sebisa mungkin hindarilah penggunaan kata sifat ini menjadi hal-hal yang bersifat lebih kuantitatif. Jangan menetapkan pedoman-pedoman yang bersifat subjektif karena hal itu sama saja dengan tidak menetapkan apa-apa.

”Jangan angkat barang berat-berat, nanti kamu sakit punggung”, ”Jangan makan permen banyak-banyak, nanti sakit gigi”, ”Jangan sering pulang malam”, ”Jangan beli barang yang terlalu mahal”, dan lain sebagainya adalah perkataan-perkataan yang membingungkan. Alangkah baiknya apabila kalimat-kalimat tersebut diganti menjadi ”Jangan angkat barang lebih dari 20 kilogram”, ”Jangan makan permen lebih dari satu butir per hari”, ”Jangan pulang lebih dari jam 10 malam”, ”Jangan membeli baju seharga lebih dari Rp. 250.000,-”. Kalimat-kalimat ini jauh lebih jelas dibandingkan dengan kalimat-kalimat sebelumnya yang bisa mengakibatkan salah tangkap maksud yang ingin kita sampaikan.

Memang hal ini akan terkesan aneh apabila kita masih belum terbiasa. Mungkin lawan bicara kita dapat menganggap kita aneh karena terlalu berlebihan mengungkapkan segala sesuatu, namun hal itu merupakan hal yang cukup efektif untuk menghindari kesalahan. Kondisi yang sering terjadi pada waktu saya mengikuti kepanitiaan, ada rekan-rekan yang meminta ijin untuk meninggalkan rapat sebentar, katanya, namun sampai dengan rapat berakhir, dia tidak kunjung kembali. Mengapa? Mungkin saja waktu tiga jam bagi orang yang meminta ijin adalah waktu yang dikatakan sebentar, namun menurut oraang-orang yang mengikuti rapat, hal itu adalah waktu yang dikatakan lama.

Sebaiknya jangan terlalu sering mengungkapkan kata-kata sifat untuk menghindari kesalahan pemahaman yang berujung pada kejengkelan kita sendiri karena hasil yang diterima oleh lawan bicara kita ternyata berbeda dengan apa yang kita harapkan. Sebaliknya, jangan terlalu mudah mengasumsikan kata-kata sifat yang diucapkan orang lain sama seperti ada yang ada di dalam pemikiran kita. Mungkin juga apa yang menjadi harapan dari lawan bicara kita tersebut berbeda dengan yang ada di dalam pemikiran kita. Selamat mencoba.

Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri, pengecut. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.

Ivan Arista
Email/ FS : ivan_arista@yahoo.com
MSN : ivan_arista@hotmail.com
http://ivanarista.blogspot.com/