Contact Me

Feel free to discuss @ivan_arista


Sunday 13 July 2008

AWAS! JANGAN TEKAN TOMBOL BAWAH!!!

AWAS! JANGAN TEKAN TOMBOL BAWAH!!!

Pernahkah anda membaca kalimat itu? Mungkin sebagian dari kita sudah mengetahuinya, kalimat tersebut merupakan penggalan dari SMS lucu yang mana apabila kita meneruskan menekan tombol bawah, akan muncul gambar-gambar lucu, seperti monyet atau babi yang digambarkan oleh si pengirim sebagai muka asli kita. Hehehe... Lucu? Jayus? Sudah biasa? Terserah anda karena saya tidak sedang ingin membahas SMS lucu, namun saya ingin bertanya kepada anda, apa yang kita lakukan apabila kita menerima sebuah kalimat yang berisikan larangan?
Saya yakin bahwa hampir pasti anda akan terus menekan tombol ke bawah karena anda penasaran mengetahui apa kelanjutannya. Mengapa anda tidak boleh melihatnya? Itu yang mungkin menjadi motivasi anda atau sekedar rasa ingin tahu. Satu hal yang bisa dijadikan kesimpulan, semakin anda dilarang untuk melakukan sesuatu, semakin anda terpanggil untuk melakukannya. Hal tersebut merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk yang bebas, kreatif, mempunyai kehendak masing-masing, sehingga mereka tidak menyukai adanya aturan-aturan yang membatasi, yang mengekang, dan melarang mereka melakukan segala sesuatu. Manusia akan lebih memilih untuk melanggar peraturan dan berkata, ”Asal tidak ketahuan, kan tidak masalah.” daripada menuruti larangan tersebut meskipun sudah tahu alasannya, apalagi jika tidak tahu alasannya.
Saat anda melewati kursi dengan tulisan ”Jangan disentuh, cat masih basah”. Apakah yang anda lakukan? Berapa persen dari kita yang melewatinya begitu saja? Berapa persen dari kita yang iseng untuk sekedar menyentuhnya untuk memastikan bahwa cat di kursi itu masih benar-benar basah? Saya sangat yakin lebih banyak dari kita yang akan melakukan pilihan kedua ini. Manusia akan puas ketika menemukan kesalahan orang lain. Orang yang menyentuh kursi itu akan berkata, ”Tulisan itu salah, saya sudah membuktikan dengan menyentuhnya bahwa cat itu sudah kering”, apabila dia menemui bahwa cat itu sudah kering. Apabila ternyata memang cat itu masih basah, ya sudahlah. Anggap semuanya tidak pernah terjadi. Toh, tidak ada yang mengetahui jika kita telah menyentuh kursi itu. Toh, kita juga tidak mendapatkan kerugian apa-apa. Kondisi ini adalah contoh lain yang membuktikan bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah bebas dan membenci peraturan.
Nah, saya yakin sebagian dari anda sudah mengetahui hal itu, namun mengapa di kehidupan kita masih terdapat begitu banyak peraturan? Mengapa kita suka membuat peraturan-peraturan baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain? Orang yang suka membuat peraturan akan berkata bahwa peraturan diciptakan untuk membuat segala sesuatu lebih teratur. Dengan peraturan, tidak akan terjadi tindak kejahatan, pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Yah, memang benar. Saya setuju dengan diberlakukannya peraturan yang melindungi hak-hak asasi manusia seperti itu, namun apabila peraturan itu dibuat seperti jangan mencontek waktu ujian, jangan terlambat masuk kuliah, jangan parkir mobil dengan kepala menghadap ke depan, jangan menduduki kursi ini karena cat masih basah, dan lain sebagainya, saya pribadi tidak akan menyukainya. Mengapa? Karena semakin banyak peraturan, semakin banyak orang yang melanggarnya. Lantas bagaimana? Tidak perlu peraturan? Tidak juga!
Sempat suatu hari saya berbincang-bincang dengan teman saya yang berkuliah di Fontys, Belanda. Dia berkunjung ke Filipina untuk keperluan penelitian studinya. Salah satu topik paling menarik menurut saya yang saya ingat sampai sekarang adalah bagaimana dia mengatakan pemerintah negara-negara di Asia adalah bodoh, terutama pemerintah di Filipina. Saya yakin dia akan menganggap pemerintah Indonesia lebih bodoh lagi karena menerapkan lebih banyak peraturan daripada pemerintah di Filipina. Dia berkata, ”Mengapa prostitusi dilarang? Mungkinkah pemerintah mengekang hal tersebut?”, ”Mengapa ujian dilarang mencontek? Seberapa mampu pengawas ujian mengawasi mahasiswanya?”, dan ”Mengapa konsumsi narkotika dilarang? Berapa banyak kasus yang lolos dari pengawasan pemerintah?”. Dengan polosnya saya bertanya, ”Lantas bagaimana?”. Diapun menjawab, ”Untuk masalah prostitusi, pemerintah Belanda tidak melarangnya namun memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai bahaya HIV dan AIDS serta mengajarkan bagaimana melakukan hubungan seksual yang aman.”, ”Untuk masalah mencontek waktu ujian, penyusun kurikulum pendidikan selalu menganjurkan untuk membuat ujian yang bersifat terbuka, sehingga tidak memungkinkan mahasiswa untuk menjiplak persis jawaban temannya”, dan ”Untuk masalah narkotika, pemerintah Belanda memberikan alternatif tempat di mana saja barang-barang itu boleh dikonsumsi, seperti di pub, klub malam, diskotik, dan lain sebagainya namun dengan batasan jumlah tertentu.”. Ditambahkannya, ”Hal ini masih banyak terjadi di hal-hal yang lain”.
Saya sangat kagum dengan pola pikir yang dimilikinya, yang dimiliki pemerintah Belanda, dan warga-warganya. Mengapa membuat peraturan kalau sudah pasti tidak mampu melaksanakannya dan masih banyak yang melanggar? Milikilah pola pikir terbalik, cari dampak dari mengapa larangan tersebut dibuat, buat bagaimana kita dapat menghindari dampak negatifnya tanpa membuat larangan. Itu menurut saya lebih baik. Sebagai contoh adalah larangan terlambat masuk kerja atau kuliah, mengapa larangan tersebut dibuat? Dampaknya akan semakin negatif apabila mahasiswa atau karyawan melihat dosen atau atasan yang terlambat. Untuk kehidupan kampus, dosen dapat membuat bagaimana mahasiswa bisa merasa sayang untuk melewatkan awal-awal pertemuan dan untuk kehidupan kerja, buat bagaimana rekan-rekan sekerja membuat orang yang terlambat menjadi tidak nyaman. Kesadaran dan keinginan pribadi untuk tidak terlambat akan lebih berpengaruh daripada paksaan dari peraturan yang tidak tahu mengapa dibuatnya.
Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran pribadi tanpa melalui pembuatan larangan? Ambil contoh untuk kegiatan kemahasiswaan di kampus, bagaimana membuat seorang anggota kepanitiaan rutin mengikuti rapat tanpa membuat peraturan atau ancaman? Banyak alternatif yang dapat dilakukan, misalkan dengan mencuekkan anggota yang tidak datang terlambat, tidak memberitahu hasil rapat kepada anggota yang tidak datang, membuat rapat menjadi sesuatu yang berguna dan menarik sehingga anggota menjadi sayang untuk melewatkan rapat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, selain tanpa perlu membuat peraturan-peraturan yang mana akan dilanggar oleh mayoritas, kita juga dapat melatih kreativitas kita, bukan? Jadi, masihkah anda ingin membuat peraturan-peraturan lagi?
Akhir kata, semua orang tidak sempurna, pasti setiap dari kita akan melakukan kesalahan, atau dengan kata lain, ”Saya tidak mau dikritik oleh orang yang saya rasa tidak lebih benar dari saya!”. Sebuah ungkapan paling bodoh untuk siapa yang tidak bersedia mengakui besarnya kesalahan yang ada pada dirinya sendiri, pengecut. Tidak sependapat? Saya menunggu segala jenis tanggapan, saran, maupun kritik di email saya.
O, ya. Apabila anda ingin berbincang-bincang langsung dengan mahasiswa Belanda yang saya ceritakan di atas, silahkan kirimkan email ke saya, saya akan memberikan emailnya.

Ivan Arista
Email/ FS : ivan_arista@yahoo.com
MSN : ivan_arista@hotmail.com
http://ivanarista.blogspot.com
www.friendster.com/ivanarista